Festival Makanan Tradisional NTT di Labuan Bajo Sukses Promosikan Kekayaan Rasa Nusantara Timur

Tanggal: 4 Juli 2025
Labuan Bajo — Kota wisata unggulan Nusa Tenggara Timur ini kembali membuktikan diri sebagai destinasi kelas dunia. Tak hanya mengandalkan pesona Komodo dan pantai-pantainya yang eksotis, Labuan Bajo kini sukses menampilkan sisi lain yang tak kalah menarik: kekayaan kuliner tradisional dalam Festival Makanan Tradisional NTT yang digelar sepanjang pekan ini.
Sajian Khas NTT Jadi Primadona
Digelar di kawasan Waterfront City, festival ini menyuguhkan lebih dari 50 jenis hidangan tradisional dari berbagai suku di NTT, termasuk Manggarai, Flores, Sumba, dan Timor. Pengunjung festival bisa mencicipi Jagung Bose, Se’i Sapi, Catemak Jagung, Tapa Kolo, hingga Rumpu Rampe, yang semuanya dimasak langsung oleh warga lokal.
“Rasa smoky dari Se’i Sapi dan sambal Lu’at benar-benar khas. Saya belum pernah makan daging asap sehalus dan seenak ini,” ujar Liam Connors, wisatawan asal Australia yang sudah dua kali berkunjung ke NTT.
Se’i Sapi menjadi salah satu bintang festival. Dagingnya diasap menggunakan kayu kosambi selama 6 hingga 8 jam, menghasilkan aroma khas yang meresap hingga ke serat daging. Disandingkan dengan sambal Lu’at berbahan dasar jeruk limo dan cabai lokal, hidangan ini menjadi favorit pengunjung lokal dan mancanegara.
Edukasi Budaya Melalui Rasa
Festival ini tidak hanya soal makan-makan. Diselenggarakan juga demo masak terbuka, kelas memasak untuk wisatawan asing, hingga talkshow kuliner bersama chef-chef lokal dan pakar gastronomi timur Indonesia. Di satu panggung, Chef Mario Fernandes mendemonstrasikan cara membuat Catemak Jagung dengan penjelasan nilai gizi dan sejarahnya.
“Kuliner adalah bahasa budaya yang paling cepat diterima wisatawan. Saat seseorang menyukai makanan kita, secara tak langsung mereka mulai mencintai budaya kita,” ujar Chef Mario.
Bahkan wisatawan asing pun bisa belajar langsung membuat sambal Lu’at dan memasak Tapa Kolo, nasi bambu khas Manggarai, dengan metode tradisional yang dibakar menggunakan daun pisang.
Dorongan untuk Pariwisata Inklusif dan Berkelanjutan
Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menyatakan festival ini sebagai langkah strategis untuk menjadikan Labuan Bajo bukan hanya sebagai destinasi alam, tetapi juga pusat gastronomic tourism di wilayah timur Indonesia.
“Ini bagian dari transformasi Labuan Bajo dari kota transit menuju destinasi budaya dan rasa. Kami ingin wisatawan tinggal lebih lama, belajar lebih banyak, dan kembali lagi,” kata Kepala Dinas Pariwisata NTT, Yohanes Laba Senda.
Lebih dari 70% pelaku kuliner yang ikut serta dalam festival adalah UMKM lokal, termasuk ibu-ibu dari desa-desa sekitar. Mereka tidak hanya menjual makanan, tapi juga menjajakan produk olahan seperti abon Se’i, sambal kemasan, dan keripik singkong khas Sumba.
Hiburan dan Nuansa Tradisional
Festival ini juga diiringi pertunjukan musik tradisional seperti Sasando, tarian Caci dari Manggarai, dan Likurai dari Timor. Suasana meriah namun tetap terasa intim dengan kehadiran wisatawan dari berbagai negara dan masyarakat lokal yang berbaur.
Tersedia juga zona makan lesehan di tepi pantai, dengan lampu-lampu gantung dan meja dari kayu kelapa, menjadikan pengalaman makan semakin otentik dan berkesan.
Kesimpulan:
Festival Makanan Tradisional NTT di Labuan Bajo membuktikan bahwa kekuatan rasa dan budaya dapat menjadi fondasi pariwisata yang tahan lama. Melalui kuliner, NTT tidak hanya memuaskan perut para pelancong, tapi juga memperkenalkan warisan leluhur yang tak ternilai.